Secara peluang, Ahok alias Basuki Tjahaja Purnama adalah orang yang paling berpeluang memenangi Pilkada DKI 2017, tetapi pada akhirnya harus kalah, berikut adalah prediksi saya mengenai penyebab kekalahan Ahok.
1. TIDAK FOKUS DALAM DEBAT
Dalam perdebatan, beberapa kesalahan atau kekurang jelian Ahok dalam menggunakan strategi debat, yaitu:
a. Tidak Fokus Pada Program Kerakyatan
Bukan berarti Ahok tidak punya program yang bagus loh. Tetapi Ahok kurang memoles program tersebut agar layak atau diterima "pasar". Berbeda dengan Sandiaga Uno yang memang seorang yang menguasai Marketing, programnya menggunakan strategi yang tepat.
Ketika banyak pendukung Ahok (saya juga salah satu pendukungnya) mengatakan bahwa dalam perdebatan Ahok tampil gemilang, maka sebenarnya saya cukup setuju, hanya saja hal itu hanya terjadi di debat Pilkada putaran pertama dimana dia bersaing dengan Anies-Sandi dan Agus-Sylvi.
Tetapi pada debat kedua, Ahok tampaknya terpancing dengan isu dan kasus yang sedang membelitnya. Hal ini justru terbalik dgn metode Anies- Sandi yang selalu menggaungkan "Oke-Oce" dan "DP 0%".
Mungkin beberapa dari Anda berkata bahwa program Anies-Sandi itu hanya janji, bahkan ada banyak yang membully. Tetapi ingat, bahwa rakyat itu ketika memilih, tidak pernah memikirkan apakah janji itu realistis atau tidak. Rakyat pemilih lebih cenderung mengingat program yang "mudah diingat".
Jargon yang digunakan Anies-Sandi sangat berhasil. Jargon inilah yang tidak dimiliki oleh Ahok.
b. Kurang "menjual" Djarot
Dalam debat, gap ketrampilan di depan publik antara Ahok dan Djarot, sangat jomplang. Ahok begitu menguasai panggung, sedangkan Djarot lebih menggunakan bahasa yang "nanggung".
Sebenarnya kalau Djarot berhasil "dijual", maka ada kemungkinan "pasar" bagi Ahok-Djarot makin luas, karena sebenarnya Djarot memiliki daya tarik bagi kaum Marjinal, pemilih dari Jawa Timur, warga NU dan juga kaum Nasionalis.
2. TIDAK ADA TOKOH KUAT YANG SELALU MENDAMPINGI
Tokoh kuat yang selama ini paling sering mendampingi Ahok adalah Ibu Mega, tetapi itu tidak sesering Prabowo yang menemani Anies-Sandi.
Bahkan tokoh PKS yang merupakan Gubernur Jabar, secara nyata memberikan dukungan kepada Anies Sandi.
Di sisi lain: Surya Paloh, SetNov (dan para tokoh Golkar), OSO dan Wiranto (Hanura) kurang terlihat. Bahkan tidak ada satupun tokoh pemimpin daerah yang secara nyata memberikan dukungan pada Ahok di media, khususnya yg berasal dari partai pendukung.
Sebut saja Ganjar Pranowo (Jateng), Risma (Surabaya), Dedy Mulyadi (Purwakarta), Olly Dondokambey (Sulut), dan banyak Gubernur lainnya. Padahal Jakarta adalah tempatnya para kaum urban dari berbagai propinsi.
Uniknya beberapa kesempatan, malah terlihat yang aktif adalah partai yang sebenarnya belum pernah ikut Pemilu (seperti PSI).
3. KAMPANYE DI PUTARAN KEDUA KURANG GENCAR
Jika kampanye putaran pertama ditutup dengan konser ratusan artis, maka sebenarnya saya mengharapkan ada yang spesial di putaran kedua. Ternyata harapan itu tidak terjadi.
Bahkan kampanye putaran kedua bagi saya sangat anti klimaks.
Dalam prinsip komunikasi massa, ada prinsip "Primacy" dimana orang akan mengingat momen terakhir (alias kesan akhir). Hal inilah yang gagal diciptakan oleh timses Ahok.
Coba bandingkan dengan hari terakhir kampanye Donal Trump yang sangat heboh.
4. DUKUNGAN KAUM NAHDLIYIN KURANG DIMAKSIMALKAN
Tidak bisa kita pungkiri, bahwa kaum Nahdliyin (NU) cukup kuat di Jakarta, sayang sekali Ahok dan Djarot kurang melakukan pendekatan intensif kepada mereka. Walaupun banyak tokoh Muda NU yang mendukung, tetapi setau saya hanya sebatas via online.
5. SALAH PILIH KETUA PEMENANGAN
Pemilihan pak Prasetyo Edi Marsudi sebagai ketua tim pemenangan, menurut saya kurang tepat. Alasannya:
a. Publik masih ingat perseteruan antara Ahok dan Edi tentang anggaran DPRD DKI
b. Nama Prasetyo Edi (PDI-P) kalah mentereng untuk mengambil hati kaum marjinal yang merupakan basis PDI-P, jika dibandingkan mantan ketua DPD PDI-P Boy Sadikin yang mendukung Anies.
c. Kurang mewakili kaum Islam, karena PDI-P adalah perwakilan Nasionalis
Sehingga, menurut saya kalau ketua timsesnya:
1. Nusron Wahid
2. Habiallah Ilyas
atau dari partai Islam, maka ceritanya pasti akan berbeda.
6. KURANG MENJAGA PERKATAAN
Inilah sebenarnya puncak kesalahan Ahok.
Ahok memiliki nilai jual yang sangat cocok untuk Jakarta, yaitu ketegasan dan tahan banting. Itulah karakter yang sebenarnya cocok untuk kota seunik Jakarta.
Tetapi kata-kata kotor bahkan cenderung "menyakiti" orang lain adalah cerminan dari sikap yang negatif bagi seorang pemimpin.
Ibu Megawati pernah menasihati Ahok agar menjaga mulutnya selama Pilkada.
Bahkan ketika diwawancara Metro TV, ketika Ahok mengunjungi Surya Paloh, wartawan Metro bertanya, apa pelajarannya bagi Ahok setelah kalah pemilu, maka Ahok menjawab "harus lebih jaga kata-kata" (kurang lebih seperti itu).
Tapi saya berdoa, agar pak Ahok tetap berkarya bagi bangsa. Jika tidak di pemerintahan, maka tidak ada salahnya, bakat dia bisa dipakai untuk memimpin perusahaan BUMN seperti Garuda, Mandiri, dll, yang jauh dari politik.
Garry Tengker
Learning and Consulting Director of Ide Learning Indonesia
Tidak bisa kita pungkiri, bahwa kaum Nahdliyin (NU) cukup kuat di Jakarta, sayang sekali Ahok dan Djarot kurang melakukan pendekatan intensif kepada mereka. Walaupun banyak tokoh Muda NU yang mendukung, tetapi setau saya hanya sebatas via online.
5. SALAH PILIH KETUA PEMENANGAN
Pemilihan pak Prasetyo Edi Marsudi sebagai ketua tim pemenangan, menurut saya kurang tepat. Alasannya:
a. Publik masih ingat perseteruan antara Ahok dan Edi tentang anggaran DPRD DKI
b. Nama Prasetyo Edi (PDI-P) kalah mentereng untuk mengambil hati kaum marjinal yang merupakan basis PDI-P, jika dibandingkan mantan ketua DPD PDI-P Boy Sadikin yang mendukung Anies.
c. Kurang mewakili kaum Islam, karena PDI-P adalah perwakilan Nasionalis
Sehingga, menurut saya kalau ketua timsesnya:
1. Nusron Wahid
2. Habiallah Ilyas
atau dari partai Islam, maka ceritanya pasti akan berbeda.
6. KURANG MENJAGA PERKATAAN
Inilah sebenarnya puncak kesalahan Ahok.
Ahok memiliki nilai jual yang sangat cocok untuk Jakarta, yaitu ketegasan dan tahan banting. Itulah karakter yang sebenarnya cocok untuk kota seunik Jakarta.
Tetapi kata-kata kotor bahkan cenderung "menyakiti" orang lain adalah cerminan dari sikap yang negatif bagi seorang pemimpin.
Ibu Megawati pernah menasihati Ahok agar menjaga mulutnya selama Pilkada.
Bahkan ketika diwawancara Metro TV, ketika Ahok mengunjungi Surya Paloh, wartawan Metro bertanya, apa pelajarannya bagi Ahok setelah kalah pemilu, maka Ahok menjawab "harus lebih jaga kata-kata" (kurang lebih seperti itu).
Tapi saya berdoa, agar pak Ahok tetap berkarya bagi bangsa. Jika tidak di pemerintahan, maka tidak ada salahnya, bakat dia bisa dipakai untuk memimpin perusahaan BUMN seperti Garuda, Mandiri, dll, yang jauh dari politik.
Garry Tengker
Learning and Consulting Director of Ide Learning Indonesia